INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA Inovasi Pembelajaran Matematika

Laman

Senin, 02 Januari 2012

Meningkatkan Keaktifan dan Keterampilan siswa dalam Pemecahan Masalah pada Pembelajaran Matematika dengan Penerapan Model STAD: SEBUAH PTK

Endang Sulistiyah, Noer Imamah, Guntur Sumilih*

SMP Negeri 1 Purwosari,  Jl Puntir 128 Purwosari Pasuruan.
Email: sulistiyahendang@yahoo.co.id

ABSTRACT:  This Classroom Action Research was intended to describe the implementation of STAD model of teaching that improved students participation in groups work and their skills to solve mathematical problems. Subject of the study were 40 students of grade VII G  of SMP Negeri 1 Purwosari, District of Pasuruan.  Data that were collected through observation, test, field notes, and specific notes of special students showed that the use of deductive and inductive approach with no limitation on the use of media in the teacher presentation stage of STAD Model were able to improve student’s active participation and their skills in solving mathematica problems.

Keywords: active participation, cooperative learning, problem solving skills, STAD


Tiga tahun terakhir, sekitar 30% sampai 40% siswa kelas VII, SMP Negeri 1 Purwosari, Pasuruan belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal mata pelajaran Matematika. Sekor mereka masih di bawah 65. Hal ini mendorong peneliti untuk mencari bentuk pembelajaran lain yang mampu meningkatkan ketuntasan belajar siswa.
Berdasarkan kajian peneliti terhadap penelitian tentang pengaruh penggunaan pembelajaran kooperatif  pada umumnya, dan model STAD pada khususnya, (Purwanti, 2003; Sa’adah, 2003; Nurhadi dkk, 2004), dan pengalaman peneliti mengikuti pelatihan-pelatihan (LPMP, DBE3, serta pelatihan lainnya), pada tahun pelajaran 2009/2010,  peneliti  mencobaterapkan pembelajaran model STAD di kelas VII G. Akan tetapi, pelaksanaan  model STAD ini ternyata masih jauh dari kata sempurna.
Peneliti menemukan kenyataan bahwa rata-rata hanya terdapat 2 (dua) siswa di setiap kelompok yang aktif mengerjakan tugas kelompok. Pembagian tugas juga tidak merata. Siswa terlihat belum saling mempercayai jawaban temannya. Di samping itu, 6 dari 8 kelompok yang ada, ditemukan adanya 1 siswa yang mendominasi pengerjaan tugas kelompok, dan 31,3% siswa tidak tuntas belajarnya. Ini bertentangan dengan temuan sebelumnya (Purwanti, 2003; Sa’adah, 2003).
Mengingat keaktifan dan hasil belajar matematika merupakan tuntutan yang penting untuk belajar pada jenjang berikutnya atau untuk berjuang dalam kehidupan sehari-hari, fenomena negatif ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Siswa harus diupayakan agar selalu aktif terlibat di dalam pembelajaran, dan memperoleh hasil belajar yang baik. Mengingat pula banyaknya aspek positif dari pembelajaran kooperatif, termasuk STAD,  peneliti menduga adanya langkah-langkah pembelajaran yang kurang sempurna yang telah peneliti lakukan.
Menurut Slavin (dalam Maisaroh, 2004) pembelajaran STAD terdiri dari lima langkah pokok, yaitu: (1) Penyajian Kelas, (2) Belajar dalam Kelompok, (3) Tes/Kuis, (4) Skor Peningkatan  Anggota Kelompok, dan (5) Penghargaan Kelompok. Ketidak aktifan siswa dan kurang tingginya hasil belajar siswa, tentu disebabkan oleh ketidaksempurnaan dalam menjalankan langkah-langkah pokok tersebut.
Selama ini, lima langkah pokok pembelajaran STAD tersebut peneliti lakukan dengan cara berikut. Penyajian kelas dilakukan dengan berceramah secara klasikal tanpa variasi. Menurut Budiardjo (1994) praktik semacam ini tidak efektif karena penggunaan ceramah secara terus menerus tanpa divariasikan dengan teknik yang lain  dapat menurunkan konsentrasi siswa untuk ingatan jangka panjang. Cara yang lebih baik adalah dengan penyajian fenomena secara klasikal” yang tidak dibatasi kepada menjelaskan secara deduktif saja, tetapi juga secara induktif. Ini sejalan dengan temuan Muhammad (2005/2006) yang menyatakan bahwa pengembangan model pembelajarna induktif-deduktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Dalam rangka belajar kelompok, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pembentukan kelompok. Kedua, jenis tugas yang harus dikerjakan dalam kelompok. Ketiga, penilaian hasil belajar kelompok .Selama ini peneliti melakukannya dengan cara membagi kelompok secara acak menurut nomor absen Tampaknya hal ini juga perlu diperbaiki. Pengelompokan secara acak yang selama ini telah peneliti lakukan ternyata tidak selalu menghasilkan kelompok yang heterogen yang merupakan prasyarat dihasilkannya kerja kelompok yang ideal (Maisaroh, 2004).
Terkait dengan jenis tugas, selama ini, jenis tugas yang diberikan untuk dikerjakan dalam kelompok adalah tugas  yang terfokus pada prosedur dan keakuratan. Tugas matematika yang terintegrasi yang menuntut kemampuan berfikir tingkat tinggi sangat jarang diberikan. Akibatnya, ketika siswa dihadapkan pada tugas yang sulit dan membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi atau jawabannya tidak langsung diperoleh, siswa cenderung malas mengerjakannya, mereka sering menegosiasikan tugas tersebut dengan gurunya dan meminta kemudahan (Jarnawi, 2005).
Penilaian terhadap hasil belajar kelompok bisa dua macam. Pertama, penilaian terhadap masing-masing individu (dengan kata lain: belajar kelompok hanya sekedar menjadi alat untuk pemahaman masing-masing individu, sehingga setiap anggota mungkin saja memiliki nilai berbeda). Kedua, penilaian terhadap kelompok (satu kelompok mempunyai nilai yang sama). Selama ini, penilaian terhadap hasil belajar kelompok yang dilakukan peneliti adalah penilaian individu semata.  Praktik sedemikian banyak mengakibatkan individu tidak aktif dalam kelompok. Keberhasilan atau kegagalan kelompok sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan individu. Mereka lebih fokus kepada kepentingan diri sendiri. Akibatnya, anak yang pintar enggan berbagi idenya dengan teman sekelompoknya, dan anak yang kurang, merasa malu untuk bertanya. Konsolidasi pengetahuan antar siswa tidak terjadi (Ari Samadi, tanpa tahun).
Dalam tahap pemberian kuis, peneliti melakukannya dengan memberikan kuis secara klasikal dan memberikan kesempatan menjawab hanya pada salah satu siswa yang angkat tangan dengan cepat. Berdasarkan pendapat Prayitno (1989), langkah ini juga memiliki kelemahan, yaitu: tidak semua siswa yang angkat tangan mendapat kesempatan mempertunjukkan kemampuannya.
Dalam tahap penghitungan skor peningkatan anggota kelompok, peneliti melakukan dengan langkah membuat peringkat  banyaknya aspek keaktifan yang dikuasai dan hasil tes pemecahan masalah serta penghargaan yang diperoleh. Langkah    ini memiliki kelemahan yaitu siswa yang berada pada peringkat bawah tidak termotivasi.
Dalam tahap penghargaan kelompok, peneliti melakukan dengan memberikan penghargaan pada saat pembelajaran berlangsung dan pada akhir pembelajaran, dengan pemberian stiker dan mengumumkan hasil peringkat 3 terbesar, secara terbuka di depan kelas. Cara ini memiliki beberapa kekuatan, yaitu, kelompok termotivasi untuk berkompetisi, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya dan mengatasi prestasi orang lain. Berdasarkan pendapat Prayitno (1989), langkah ini juga memiliki kelemahan, yaitu: kelompok yang tidak termasuk peringkat tiga terbaik menjadi kurang percaya diri.
Oleh karena itu, peneliti tertantang untuk menemukan jawab dari pertanyaan berikut 'Pembelajaran STAD bagaimanakah yang mampu meningkatkan keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah siswa kelas VII G SMP Negeri 1 Purwosari?'

METODE

Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Data-data yang dikumpulkan mencakup: (1) keaktifan siswa, (2) keterampilan memecahkan masalah matematika. Data tentang keaktifan siswa  mencakup 6 aspek  yaitu 1) mendengarkan pendapat teman, 2) membagi kepemimpinan, 3) membuat keputusan bersama, 4) menyelesaikan beda pendapat, 5) memberikan informasi, dan 6) bertanya. Sedangkan data tentang keterampilan memecahkan masalah mencakup empat tahap pemecahan masalah, yaitu 1) memahami masalah (menentukan model matematika dari soal pemecahan masalah), 2) menyusun rencana pemecahan, 3) melaksanakan rencana pemecahan, 4) meninjau kembali (Polya, 1957). Data tentang keaktifan siswa diperoleh dengan menggunakan instrumen Lembar Observasi  Keaktifan Siswa sedang data keterampilan memecahkan masalah diperoleh dengan tes.
Di samping siswa kelas VII pada umumnya, penelitian ini juga memberikan perhatian khusus kepada siswa yang aspek keaktifannya sangat rendah. Ini dilakukan karena peneliti ingin mengaktifkan semua siswa.
Indikator keberhasilan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah: 1) Tiap pertemuan dalam satu siklus, minimal 30 dari 40 (75%) siswa di kelas menunjukkan 4 dari 6 aspek keaktifan. 2) Pada akhir siklus minimal 20 siswa dari 40 (50%) siswa di kelas memperoleh nilai tes pemecahan masalah  minimal 70. 3). Pada akhir siklus siswa yang memerlukan perhatian khusus dapat  mencapai 3 dari 6 aspek keaktifan.     
Untuk menentukan suatu tindakan sudah berhasil atau perlu diperbaiki pada siklus berikutnya, peneliti membandingkan data yang diperoleh dengan indikator keberhasilan. Manakala hasilnya melebihi indikator keberhasilan maka tindakan dianggap berhasil dan tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Akan tetapi jika hasilnya kurang dari indikator keberhasilan maka perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya.
Sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII G SMPN 1 Purwosari tahun Pelajaran 2009-2010, berjumlah 40 orang. Penelitian dilakukan selama tiga bulan.

HASIL
Tindakan 1
Peneliti memulai pembelajaran dengan memberikan penjelasan kepada seluruh siswa. Penyajian dilakukan dengan cara memberikan soal cerita yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel dan membimbing siswa dengan  tanya  jawab: bagaimana membuat kalimat matematikanya dengan benar.
Selanjutnya, siswa bekerja dalam kelompok. Kepada mereka diberikan LKS yang bervariasi yakni dengan model: identifikasi kartu, make a match, dan  dengan model permainan mencari harta karun. Soal-soal yang disajikan dalam LKS juga dibuat menarik, warna warni, dan dilengkapi dengan gambar–gambar yang sering ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari dan kontekstual. LKS juga memuat soal-soal pemecahan masalah  yang diharapkan mampu melatih siswa untuk menghadapi tes perorangan agar mendapat nilai yang optimal. Selama mereka mengerjakan LKS, peneliti mendampingi siswa dalam diskusi kelompok dan mengatur jalannya presentasi/karya kunjung/kunjung karya serta menyimpulkan dan menguatkan hasil diskusi.
Peneliti memberikan  kuis pada pertemuan ke 5, yakni pada tanggal 14 November 2009, dan pada pertemuan ke 11, yakni pada tanggal 28 Desember 2009. Sedangkan pada akhir siklus guru memberikan tes akhir siklus yakni soal-soal tes pemecahan masalah
Guru memberikan penghargaan berupa sticker di setiap pertemuan, dan pada saat kuis diberikan. Penghargaan kelompok dikalkulasi pada akhir siklus. Tiga kelompok yang memperoleh nilai tertinggi diumumkan guru di depan kelas. Kelompok yang diumumkan terlihat sangat senang dan bersemangat, sedangkan kelompok yang tidak termasuk dalam tiga kelompok dengan nilai tertinggi terpacu dengan adanya pengumuman ini.
Berdasarkan hasil refleksi terhadap hasil pengamatan tentang tindak pembelajaran yang dilakukan guru, dan reaksi siswa, peneliti memutuskan untuk mengubah tindakan 1 menjadi: 1) Penyampaian informasi langkah-langkah soal pemecahan masalah sesuai urutannya, 2) Untuk mengatasi tidak meratanya pendampingan kelompok, guru harus mengatur waktu pendampingan kelompok, baik kelompok yang duduk di bagian belakang, tengah, atau pun depan secara merata, 3) Penyampaian jawaban kuis secara tertulis, sehingga siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab kuis, 4) Mengurangi jumlah soal problem solving yang harus didiskusikan siswa, dan  5) Menurunkan tingkat kesulitan tugas dalam LKS.
Tindakan 2
Peneliti memulai pembelajaran dengan memberikan penjelasan kepada seluruh siswa. Penyajian ini dilakukan dengan cara  melakukan apersepsi dan motivasi pada awal pelajaran, dilanjutkan penyajian kelas, yaitu dengan  mengingatkan siswa tentang persen, diskon,  dan membimbing siswa dengan tanya jawab bagaimana menghitung  persen, diskon, bunga bank, serta cicilan per bulan secara benar, dengan waktu yang lebih lama daripada siklus 1. Guru mengkomunikasikan/menanyakan kembali apakah siswa telah memahami apa yang disajikan guru.
Selanjutnya, peneliti meminta siswa bekerja dalam kelompok.  Peneliti mengajak siswa bermain peran sebagai pembeli dan penjual sepeda motor pada sebuah dealer sepeda motor. Untuk menjadi penjual, tentunya siswa harus bisa mengkalkulasi diskon yang diberikan oleh dealer tempat mereka bekerja, sehingga dapat mempengaruhi pembeli dan sepeda motornya laku. Setelah kelompok melakukan peran pembeli dan penjual secara bergantian, peneliti memberikan LKS yang telah direncanakan dalam RPP.
Agar dalam kelompok tercipta suatu kerja kooperatif  yang diharapkan, yaitu keaktifan dan  keterampilan pemecahan masalah, peneliti memberikan LKS  yang menarik  (Dengan gambar-gambar yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari siswa yaitu model brosur sepeda motor serta permasalahan terkait pembelian sepeda motor), serta  melatih siswa dengan soal-soal pemecahan masalah yang diharapkan mampu melatih siswa untuk menghadapi tes perorangan agar mendapat nilai yang optimal. Di dalam belajar kelompok ini peneliti mendampingi siswa dalam diskusi kelompok secara optimal dengan mendampingi seluruh kelompok secara merata (termasuk siswa-siswa khusus) dan mengatur jalannya presentasi/karya kunjung/ kunjung karya serta menyimpulkan dan menguatkan hasil diskusi.
Peneliti memberikan tes/kuis individual pada akhir siklus soal-soal kuis dan tes disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu soal-soal pemecahan masalah jawaban hasil tes ditulis dalam lembaran. Jika setelah tes/kuis ditemui siswa-siswa tidak mencapai indikator  keberhasilan maka tugas kelompok harus membantu anggota kelompoknya untuk mengajari kembali anggotanya sehingga anggota kelompoknya pada tes ulangan mampu mencapai indikator yang diharapkan.
Penghargaan kelompok diberikan  dan diumumkan peneliti secara terbuka di depan kelas setelah berakhir satu siklus dengan mengkalkulasi skor kelompok, tiga kelompok yang mendapat nilai tertinggi mendapat penghargaan.
Pada siklus 1 dan 2, tindak pembelajaran terhadap 3 orang yang belum mencapai indikator yang telah ditetapkan ini adalah pendampingan kelompok secara merata dan memperhatikan siswa-siswa khusus. Menurut Indrawati (2009), tindak ini tidak sesuai untuk siswa yang memerlukan perhatian khusus ini. Karena itu, pada siklus berikutnya, peneliti memutuskan untuk melakukan perubahan tindakan yaitu pendekatan individual kepada siswa  yang memerlukan perhatian khusus.
Tindakan 3
Peneliti memulai pembelajaran dengan memberikan penjelasan kepada seluruh siswa. Penyajian ini dilakukan dengan cara melakukan apersepsi dan motivasi pada awal pelajaran dan melaksanakan penyajian kelas, yaitu dengan  membimbing siswa dengan tanya jawab memahami pengertian himpunan.
 Selanjutnya, peneliti meminta siswa bekerja dalam kelompok. Kepada mereka diberikan  LKS yang telah direncanakan dalam RP. Agar dalam kelompok tercipta suatu kerja kooperatif  yang diharapkan, yaitu keaktifan dan  katerampilan pemecahan masalah, peneliti memberikan LKS  yang menarik (Dengan gambar-gambar yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari siswa), serta  melatih siswa dengan sosl-soal pemecahan masalah yang diharapkan mampu melatih siswa untuk menghadapi tes perorangan agar mendapat nilai yang maksimal. Di dalam belajar kelompok ini peneliti mendampingi siswa dalam diskusi kelompok secara optimal dengan mendampingi seluruh kelompok secara merata (juga terhadap siswa-siswa khusus) dan mengatur jalannya presentasi/karya kunjung/kunjung karya serta menyimpulkan dan menguatkan hasil diskusi.
Peneliti memberikan tes/kuis individual pada akhir siklus. Soal-soal kuis dan tes disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu soal-soal pemecahan masalah, jawaban hasil tes ditulis dalam lembaran, jika setelah tes/kuis ditemui siswa-siswa  tidak mencapai indikator  keberhasilan maka tugas kelompok harus membanntu anggota kelompoknya untuk mengajari kembali anggotanya sehingga anngota kelompoknya pada tes ulangan mampu mencapai indikator yang diharapkan, karena skor individu menentukan skor kelompok.
Penghargaan kelompok diberikan  dan diumumkan peneliti secara terbuka setelah berakhir satu siklus dengan mengkalkulasi skor kelompok, tiga kelompok yang mendapat nilai tertinggi mendapat penghargaan
Kalau dibandingkan dengan pelaksanaan STAD yang biasa, dalam kegiatan kelompok ini, peneliti telah mendampingi siswa secara optimal, sehingga keaktifan siswa  dan keterampilan pemecahan masalahnya meningkat. Tampak bahwa indikator keberhasilan telah tercapai semua, siswa-siswa khusus telah menguasai 3 aspek dari 6 aspek keaktifan 
PEMBAHASAN
Berikut disajikan  hasil penelitian dalam tabel dan grafik persentase hasil pengamatan observasi keaktifan siswa, serta tabel dan grafik persentase hasil tes pemecahan masalah.

Grafik Persentase  hasil tes
         Pemecahan masalah

Dari tabel dan grafik di atas, tampak bahwa persentase siswa yang memperlihatkan 4 atau lebih aspek keaktifan adalah sangat tinggi, dan stabil. Tinggi dan stabilnya keaktifan ini menunjukkan bahwa model pembelajaran STAD ini memang mampu meningkatkan keaktifan belajar siswa.
Pada grafik di atas, dari siklus ke siklus, juga tampak nyata peningkatan keterampilan pemecahan masalah siswa. Bahkan, peningkatan dari siklus pertama sampai ke siklus ketiga terlihat sangat signifikan.
            Menurut hemat peneliti, kombinasi penyajian kelas dengan deduktif dan induktif, tanpa membatasi penggunaan media atau jenis kegiatan, tetapi guru juga menyajikan dengan bantuan alat peraga, media elektronik (LCD, Filem, dll) merupakan salah satu faktor pendukung keaktifan belajar siswa. Hal sejalan dengan penelitian Muhammad (2005/2006), dan pendapat Fadilah (2008). Di samping itu, kegiatan simulasi bermain uang dan Make a Match juga memberikan kontribusi terhadap keaktifan belajar siswa. Ini sejalan dengan pendapat Nikmah (2004) yang meneliti tentang penggunaan alat peraga uang dalam pembelajaran matematika, serta Indahwati (2009) yang meneliti tentang penerapan metode Make a Match.
Ditambah dengan heterogenitas anggota kelompok, belajar dalam kelompok terlihat lebih bergairah. Heterogenitas ini telah mendorong tejadinya aktifitas saling membelajarkan, dan saling mengendalikan. Mereka belajar demi kelompok, bukan demi individu mereka. Akibatnya, tumbuh komitmen bersama untuk saling mempersiapkan anggota-anggotanya agar hasil kelompok juga baik. Ini sejalan dengan pendapat Maisaroh (2004) dan hasil penelitian Kustiati (2008).
Diberikannya kebebasan untuk menggunakan bahasa apapun dalam memecahkan masalah, dalam berbagi informasi/pengalaman, pembelajaran tampak berjalan alami. Siswa tidak merasa terlalu terkekang oleh tembok kelas yang selalu menuntut penggunaan bahasa formal. Mereka merasa diberi keleluasaan untuk mengeluarkan potensi mereka seoptimal mungkin dengan cara mereka sendiri. Akibatnya, mereka asyik dan aktif dalam belajarnya dan berhasil memahami konsep dengan baik. Ini juga sejalan dengan hasil penelitian Kustiati (2008) dan pendapat Maisaroh (2004) serta Ratna Estri (2010). 
Tugas yang menarik, serta kegiatan bermain peran menjadikan anak memahami dengan baik masalah yang diberikan. Keterlibatan secara aktif dalam bermain peran, memungkinkan siswa memperoleh wawasan dan keterampilan yang lebih baik yang memungkinkan mereka memecahkan masalah lebih baik pula (Rodhiyah, 2006).  

SIMPULAN
Pembelajaran kooperatif STAD yang mampu meningkatkan keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah adalah pembelajaran model STAD yang memiliki ciri sebagai berikut: (1) penyajian kelas dilakukan secara kombinasi antara pendekatan deduktif atau induktif, (2) penggunaan media tidak dibatasi; guru juga menyajikan dengan bantuan alat peraga, media elektronik (LCD, Filem, dll); (3) Keanggotaan kelompok dibuat heterogen, (4) pemberian tugas individu atau kelompok dibuat yang menarik, (5) siswa diberi keleluasaan untuk menggunakan bahasa apapun yang mereka inginkan, (6) siswa diajak untuk bermain peran dalam memecahkan masalah, (7) siswa didorong untuk berbagi informasi/pengalaman yang telah dilalui, dan (8) siswa didorong menyajikan tugasnya dalam bentuk laporan penyelesaian tugas.

SARAN
Para guru yang telah terbiasa menggunakan model STAD dan belum berhasil mengaktifkan atau mencapai tujuan belajar, modifikasi yang peneliti temukan di dalam penelitian ini layak dicobakan. Namun demikian, mengingat materi penelitian ini terbatas pada materi PLSV dan PtLSV, Aritmetika Sosial, dan Himpunan, penulis menyarankan agar peneliti lainnya berkenan untuk menerapkan model ini untuk materi yang lainnya.

DAFTAR RUJUKAN

Ari Samadi, T.M.A. tanpa tahun. Pembelajaran Aktif (Active Learning). Depdiknas dan ADB: Engineering Education Development Project, ADB Loan No. 1432-INO.  Diunduh dari izaskia.files.wordpress.com/2010/03/makalah-active-learning.doc tanggal 24 nopember 2010
Budiarjo. 1994. Metode ceramah, www.scribd.com/doc/396481/Metode ceramah, diunduh tanggal 24-11-2010 pukul 10.00
Fadilah, 2008. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Induktif  dalam Pengolahan Informasi, Search Engine Optimization by Star Nine. Distributed by Wordpress Themes
Indahwati, N. 2009.Penerapan Pembelajaran Metode Make a-Match untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas IX IPS pada Mata Pelajaran Akutansi Pokok Bahasan Jurnal Umum di SMA Kertanegara Malang,Skripsi, F. E Universitas Negeri Malang.
Indrawati, S.W. 2009. PAKEM, Bandung :PPPPTK IPA.
Jarnawi, A.D. tanpa tahun. Pendekatan Open-Ended dalam Pembelajaran Matematika. Dalam file.upi.edu/ai.php?...%20JARNAWI%20AFGANI%20DAHLAN/... diunduh Oktober 2010. 
Kustiati, D. 2008. Model Pembelajaran Berbasis Kooperatif Dengan Mendayagunakan Alat Peraga Guna Peningkatan Hasil Belajar Geometri        (PTK Pembelajaran matematika Kelas V SD Negeri 4 Tambirejo ). Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Maisaroh. 2004. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model STAD untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Keanekaragaman Hayati Kelas 1B Semester 1 SMA TPI Porong Sidoarjo Tahun Pelajaran 2004/2005, Skipsi tidak diterbitkan,Malang FMIPA Universitas Negeri Malang.
Muhammad. 2005/2006. Pengembangan Model Pembelajaran Induktif-Deduktif  Dapat Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dan Efektivitas Pembelajaran. http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0905106-101932/
Nikmah, M 2004. Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Penggunaan Alat Peraga Uang   Dalam Pokok Bahasan Uang  Siswa Kelas 2  Mi Ma’arif Blotongan  Tahun Pelajaran 2004/2005, Skripsi : FMIPA: Universitas Negeri Semarang
Nurhadi dkk 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapanya dalam KBK, Malang, Universitas Negeri Malang.
Purwanti, W.C 2003. Keefektifan Penggunaan Pembelajaran Kooperatif Model STAD dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas II SMUN 1 Lawang Tahun Ajaran 2003/2004,Skripsi tidak diterbitkan, Malang FMIPA Universitas Negeri Malang.
Polya, G. 1957.  How To Solve It, a new aspect of mathematical method. New Jersey: Princeton University Press.
Prayitno, E. 1989. Motivasi dalam Belajar,Jakarta : Depdikbud Dikti PLTPK.
Ratna Estri, R. 2010. Peningkatan Keaktifan Siswa DalamPpembelajaran Matematika Melalui MetodeLlearning Start With a Question  Skripsi : FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rodhiyah. 2006.  Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Operasi Perkalian dan Pembagian Dengan Metode Permainan Pada Siswa Kelas  IV SDN Purwoyoso 03 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007 Diploma II PGKSD FIP Universitas Negri Surabaya.
Saadah, A. 2003. Efektifitas Pembelajaran Kooperatif Model STAD terhadap Prestasi dan aktivitas Belajar Siswa Kelas I SMUN 8 Malang. Skripsi tidak diterbitkan.Malang FMIPA
 
 


Pengembangan Inovasi Pembelajaran: Tugas Utama Lembaga Inservice Training Seperti PPPG


Artikel >>
Oleh Suparlan *)

Jalan terpenting untuk mempertinggi mutu sekolah-sekolah itu ialah mempertinggi mutu pendidiknya
(Mr. Muhammad Yamin)
?
‘Aku masih seperti yang dulu’ merupakan hasil dari sistem pelatihan guru pada umumnya
(Mashari Subagiyono, Mantan Kepala PPPG Matematika Yogyakarta)

Innovation is change that creates a new dimension of performance
(Peter Drucker: Hesselbein, 2003)


”Setelah melalui rangkapan panjang proses sertifikasi ISO dengan konsultan (dari) PT Asia Timur Konsultindo, akhirnya PPPG Matematika [Yogyakarta] dinyatakan lolos audit sertifikasi ISO 9001:2000 [dalam bidang Sistem Manajemen Mutu], yang dilakukan oleh Badan Sertifikasi SAI Global Indonesia”.

Demikianlah sekilas info yang disampaikan oleh redaksi Buletin LIMAS Edisi Nomor 17, Desember 2006 kepada pembaca dan keluarga besar PPPG Matematika Yogyakarta. Sekilas info tersebut sudah barang tentu menjadi berita bahagia tersendiri bagi seluruh keluarga besar PPPG Matematika, khususnya bagi jajaran pimpinannya.

Sebagaimana kita ketahui, PPPG berada di dalam lingkungan pembinaan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, karena tugas utamanya adalah untuk meningkatkan kompetensi guru matematika. Meski ISO yang diperoleh tersebut dalam bidang manajemen mutu, namun soal substansi pembelajaran matematika sudah barang tentu tetap akan menjadi bidang garapan utamanya. Oleh karena itu, amat pantas jika setiap saat PPPG Matematika selalu mempertanyakan kinerjanya tentang pengembangan inovasi pembelajaran matematika.
?

Pertanyaan Mendasar

Pertanyaan yang sering muncul di benak kita antara lain adalah ”apakah PPPG Matematika Yogyakarta telah berhasil mengembangkan satu model inovasi pembelajaran matematika yang lebih ampuh atau efektif untuk meningkatkan kompetensi guru matematika di tanah air? Inilah pertanyaan yang harus dijawab dan sekaligus menjadi tantangan bagi para petinggi di PPPG Matematika Yogyakarta pada umumnya, dan bagi para widyaiswara pada khususnya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini ditulis disampaikan satu pengalaman lapangan ketika penulis mengadakan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. PPK adalah program kerja sama antara Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, dengan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Salah satu kegiatan PPK adalah peningkatan kompetensi guru SD melalui peningkatan inovasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PAKEM. Model pelatihan yang digunakan oleh PPK ternyata sangat berbeda dengan pelaksanaan kegiatan pelatihan pada umumnya, termasuk kegiatan pelatihan yang dilaksanakan pada lembaga inservice training, seperti di PPPG Matematika Yogyakarta.


Model Pelatihan

Model pelatihan yang telah dikembangkan oleh PPK dapat digambarkan sebagai berikut:

Sepuluh orang guru dari Kabupaten Barito Kuala (Batola) telah berada di Kabupaten Mojokerto. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk belajar mengajar dengan pendekatan PAKEM. Mengapa tidak ke daerah lain yang lebih maju lembaga pendidikan sekolahnya? Seperti Jakarta, Surabaya, atau Malang? Biar tidak ada alasan bahwa para guru itu tidak dapat menerapkan inovasi pembelajaran itu karena perbedaan lingkungan daerahnya. Kabupaten Batola tidak sejajar dengan Jakarta, Surabaya, atau Malang.

Selama sepuluh hari, sepuluh orang guru itu memperoleh fasilitasi dari guru-guru SD di Kabupaten Mojokerta untuk melaksanakan PAKEM. Pada lima hari pertama, guru-guru dari Kabupaten Batola melihat secara langsung bagaimana para guru SD di Kabupaten Mojokerta membuat persiapan, menyiapan bahan ajar, menyiapkan media dan alat peraganya, dan juga melihat bagaimana mereka mengajar di depan kelas dengan model PAKEM. Selama lima hari berikutnya, guru-guru dari Kabupaten Batola melaksanakan sendiri proses pembelajaran di depan kelas, dengan fasilitasi langsung dari para guru-guru yang telah melaksanakan inovasi pembelajaran.

Sepulang ke Kabupaten Batola, sepuluh guru tersebut diharapkan tidak berkata lagi ”Aku Masih Seperti Yang Dulu”, karena mereka telah melihat sendiri apa yang dilakukan oleh para koleganya, dan kemudian telah pula melakukan sendiri apa yang dilakukan oleh para koleganya tersebut .

Sumber: Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimanatan Selatan

Akankah PPPG Matematika Yogyakarta, dan PPPG yang lain, hanya akan menutup mata untuk tidak melihat adanya model pelatihan yang mungkin lebih efektif? Akankah PPPG Matematia masih akan tetap menggunakan model pelatihan konventemional yang sejak dulu telah biasa dilakukan? Akankah PPPG Matematika akan selalu ”doing as usual”? Penataran dibuka dengan acara seremonial oleh pejabat. Lalu dilanjutkan dengan pretes. Selanjutnya dilaksanakan pelatihan sebagaimana biasa, dengan variasi metode ceramah, tanya jawab, simulasi atau praktik di laboratorium, atau kalau ada danyanya melakukan kunjungan ke sekolah model, menyusun program tindak lanjut (PTL), dan yang terakhir kegiatan penutupan, yang biasanya menjadi kegiatan yang paling dinanti-nantikan oleh seluruh peserta penataran. Dalam acara itu Kepala PPPG mengumumkan peserta terbaik dalam kegiatan itu. Tepuk tangan bergemuruh di aula atau gedung serba guna. Pernah suatu ketika peserta diberi oleh alat peraga buatan PPPG Matematika. Peserta penataran terlihat gembira menerimanya. Tetapi, apakah alat itu akan benar-benar digunakan oleh alumni penataran? Wallahu alam.

Pertanyaannya, apakah PPPG telah berhasil mengubah model pembelajaran matematika yang dilakukan oleh para guru, setelah mereka kembali ke sekolahnya masing-masing? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Bahkan, seringkali Bapak Mashari Subagiyono, mantan Kepala PPPG Matematika selalu menyampaikan dalam pidato pembukaan bahwa pada umumnya para peserta kalau ditanya akan menjawab ”aku masih seperti yang dulu”.?

Mengingat kondisi seperti itu, maka pertanyaan yang diajukan pada awal tulisan ini tentu layak untuk menjadi pemikiran dari para petinggi di lembaga ini. Model yang telah dilakukan oleh PPK bisa menjadi bahan pelajaran berharga yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Percuma saja, lembaga inservice training ini sengaja diberi nama Pusat Pengembangan, jika dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tidak melakukan kegiatan pengembangan inovasi model pelatihan.


Akhir Kata

Ajaran kita menyatakan bahwa ”jika pada hari ini masih sama dengan hari kemarin, maka itu artinya merugi, dan jika hari ini justru lebih jelek dari hari kemarin, maka itu berarti satu kehancuran”. Jika kita tidak ingin merugi, maka pasti kita harus selalu mengadakan perubahan. Bukan hanya sekedar perubahan demi perubahan, melainkan perubahan demi perbaikan. Demikian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berpesan dalam tulisannya.
?
*) Mantan Kepala Bidang Pelayanan Teknis, PPPG Matematika Yogyakarta.
?
Jakarta, Maret 2007.

Selasa, 20 Desember 2011

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD IMPROVING OF MATHEMATICS LEARNING ACHIEVMENT THROUGH STAD COOPERATIVE LEARNING

JPMS (Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains), Vol 14, No 1 (2009)
Lili Solikhati, siti maimunah, malikhatun ,, Sunanto ,, Bre Wirabudi.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika melalui model pembelajaran kooperatif STAD. Jenis penelitian adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan sebanyak dua siklus dengan materi perbandingan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII D SMP Negeri Bulukamba Tahun Pelajaran 2009/2010. Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) motivasi dan minat belajar meningkat sebesar 68,5%, 2) nilai rata-rata 60,75 pada siklus I dan 72,5 pada siklus II,  dan 3) ketuntasan belajar sebesar 60% pada siklus I dan 85% pada siklus II.

Kata Kunci:  pembelajaran kooperatif tipe STAD, motivasi, dan hasil belajar matematika.

Abstract
The purpose of this research was to improve motivation and mathematics learning achievement by STAD cooperative learning. It was classroom action research with two cycles at two subject matters. Research subject was student grade seventh secondary school Bulukamba Academic Year 2009/2010. Hypothesis in this research was implementing of cooperative learning type of STAD improving motivation and mathematics learning achievement. The result of this research were 1) Student motivation and interest improved up to 68.5%, 2)The mean score of cycle I was 60.75 and Cycle II was 72.5, and 3) The study accomplishment classically of Cycle I was 60 % and Cycle I wass 85 %.

MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERWAWASAN KONSTRUKTIVIS YANG BERORIENTASI PADA GAYA KOGNITIF DAN BUDAYA

ISSN 0215-8250

oleh
I Made Ardana
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha
Jln. Udayana Singaraja
                                                                                   
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran Matematika berwawasan konstruktivis yang berorientasi pada gaya kognitif dan budaya siswa (model PMKGB).  Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang dilandasi oleh pengembangan Plomp. Pengembangan model dan perangkat dilakukan melalui dua kali uji coba, yaitu pada siswa kelas V(a/b) SD Laboratorium Undiksha Singaraja Tahun Ajaran 2003/2004. Selanjutnya, implementasi  dilakukan dua kali, yaitu pada siswa kelas V: (1) SD Laboratorium Undiksha Singaraja Tahun Ajaran 2004/2005, (2) SD No. 1 Banjar Jawa Singaraja, SD Laboratorium Undiksha Singaraja, dan SD No. 6 Banjar Jawa Singaraja Tahun Ajaran 2005/2006. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar validasi, tes, wawancara, kuesioner, dan catatan harian. Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif.  Temuan penelitian menunjukkan bahwa (1) Syntax model PMKGB terdiri dari 4 fase, yakni Fase 1:  Pengantar;  Fase 2: Pemanfaatan konsepsi jengah dan gaya kognitif dalam kelompok kooperatif;  Fase 3 : Evaluasi (individual); Fase 4: Penghargaan Team; (2) Model PMKGB merupakan model yang valid, praktis, dan efektif; (3) Perangkat model PMKGB sangat membantu mengembangkan konsepsi jengah siswa; (4) Prestasi belajar siswa berada dalam kategori baik, dan secara umum perolehan skor siswa field-independent lebih baik dibanding dengan skor siswa field-dependent.

Kata kunci : konstruktivis, gaya kognitif, dan budaya siswa
ABSTRACT

The aim of this research is to develop a mathematics instructional model with constructivist insight and which is oriented to cognitive style and students’ culture (CCCMI model).  This research is a development research based on the Plomp. Model and tool are developed through two try-outs, i.e. in grade V (a/b) of  Singaraja Undiksha  Laboratory Elementary School, 2003/2004. Its implementation is also carried out through two experiments, i.e. in grade V of (1) Singaraja Undiksha Laboratory elementary school, the year of 2004/2005, (2) Banjar jawa elementary school No. 1, Singaraja Undiksha Laboratory elementary school, and Banjar Jawa elementary school No. 6, the year 2005/2006. Data were collected using validation sheet, test, interview, questionnaire, and daily notes. Data collected were then analyzed descriptively.  Research findings show that: (1) syntax of CCCMI model consists of 4 phases, i.e. Phase 1: Introduction, Phase 2: Utilization of the concept of jengah and cognitive style within the cooperative group, Phase 3: Individual evaluation, Phase 4: Team reward; (2) CCCMI model is a valid, practical, and effective model; (3) The instrument of CCCMI model is very useful in helping students to develop their concept of jengah; (4) Students’ achievement is in good category, and in general, scores of field-independent students are better than those of field-dependent students.

Key words : constructivist, cognitive style, and students’ culture.

Selengkapnya PDF.... Word......

PENGARUH PENDEKATAN PROBLEM POSING MODEL SEARCH, SOLVE, CREATE AND SHARE (SSCS) DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS MAHASISWA MATEMATIKA


Oleh: Irwan
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Padang

Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1

ABSTRAK
Kemampuan penalaran matematis merupakan kemampuan yang sangat penting dan bagian yang integral dalam kurikulum jurusan matematika di perguruan tinggi. Pendekatan problem posing dengan penyelesaian model search, solve, create and share (SSCS) diasumsikan mampu untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis mahasiswa. Penelitian quasi eksperimen ini dilakukan untuk melihat pengaruh pendekatan problem posing dengan penyelesaian model search, solve, create and share (SSCS) terhadap peningkatan penalaran matematis mahasiswa Jurusan Matematika prodi pendidikan matematika FMIPA Universitas Negeri Padang. Sampel pada penilitian ini ditetapkan secara acak bertujuan (purposive sampling), yaitu mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Struktur Aljabar pada semester Juli-Desember 2010 yang terdiri dari dua kelas. Mahasiswa kelas eksperimen mendapat pembelajaran dengan pendekatan problem posing model SSCS sedangkan mahasiswa pada kelas kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Instrumen penelitian yang digunakan adalah pretes dan postes untuk kemampuan penalaran matematis, lembar observasi, dan pedoman wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif, uji beda rata-rata Mann-Whitney U, dan uji-t.
Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, peningkatan
kemampuan penalaran matematis mahasiswa yang mendapat pendekatan problem posing model SSCS lebih tinggi daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hasil analisis terhadap data observasi dan wawancara menunjukkan bahwa pendekatan problem posing model SSCS dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa, dan kecepatan mengajukan pertanyaan dan tanggapan terhadap jawaban dosen.

Kata Kunci: kemampuan penalaran matematis, Pendekatan problem posing, model penyelesaian
search, solve, create and share (SSCS).

Selengkapnya Pdf.... Word.....